Je m'appelle

Mon Horloge Mondiale

Selasa, 15 Juni 2010

Cerpen BOBO Part 1

Tadi saya iseng.iseng browse website bobo. Liat cerpen jaman dulu, rasanya menyenangkan.
Hahahaha

Saya posting deh ke sini ;)
Supaya kalian tau, hal.hal sederhana inilah yang membuat dunia masa kecilku menjadi great and wonderful :D


SEMANGKUK PUN SUDAH LUNAS

Oleh: Wahyu Noor S. (Bobo No. 51/XXVII)


Mas Indra adalah pemuda paling ulet di dunia. Itu kata Laila. Sst, ini bukan mentang-mentang Mas Indra adalah kakaknya, lo! Keluarga Laila adalah keluarga sederhana. Ayahnya sudah meninggal. Ibunya bekerja sebagai pembantu di rumah Pak Lurah. Jadi, Mas Indra terpaksa membiayai kuliahnya sendiri dengan menarik becak. Nah, baru percaya omongan Laila, kan? Bahwa Mas Indra adalah pemuda paling ulet di dunia.
La, kalau nanti Mas Indra dapat uang banyak, Mas traktir semangkuk bakso tenis ya? katanya sembari menjitak kepala Laila lembut. Laila hanya tersenyum. Kenapa senyum? Sst, kata-kata seperti itu bukan pertama kali diucapkan Mas Indra. Hampir tiap hari ituuu selalu yang diucapkannya. Kadang-kadang Laila membayangkan jalan-jalan naik becak Mas Indra. Lantas jajan bakso tenis di warung tenda. Wah sedaaaap.
Lo, kenapa tersenyum misterius? Mas Indra tak jadi naik ke sadel becak. Ditatapnya wajah Laila dengan tatapan menggoda. Laila tergagap, namun kemudian mengacungkan kedua jempol tangannya, Siiip! Dan Laila tersenyum lebar. Mas Indra mengangkat alisnya. Lalu melompat ke sadel becak dan weeer! Becak dikayuh. Laila memandang haru kepergian kakaknya.
Sore harinya sepulang kerja, Mas Indra merogoh uang dari kantong celananya. Ada beberapa biji permen untuk Laila. Tolong dihitung, Mas Indra menaruh penghasilannya di atas meja. Persis di depan Laila. Sembari menjitak lembut kepala Laila, Mas Indra berlalu menuju kamar mandi. Laila menaruh majalah anak-anak yang sedang dibacanya. Dihitungnya uang hasil kerja kakaknya. Ada uang kertas lima ratusan kumal, ribuan kumal, dan beberapa uang logam seratusan. Berapa La? Tak berapa lama muncul Mas Indra, menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk. Duabelas ribu, jawab Laila pendek. Dan ia mengulum sebiji permen.
Lumayanlah. Untuk beli buku dan bolpoin yang sudah habis, lalu, Mas Indra seperti bicara pada dirinya sendiri. Ia termenung sesaat lalu melangkah lurus menuju ke kamarnya. Nah kan, bakso tenisnya kelupaan! Senyum sendiri, Laila meraih kembali majalah dan melajutkan mambaca.
Begitu Ibu pulang dari rumah Pak Lurah, Mas Indra pergi kuliah. Letak rumah Pak Lurah persis di gerbang desa. Pagi Ibu ke sana dan sore pulang. Dan malam-malam ketika Ibu dan Laila mulai terkantuk-kantuk biasanya Mas Indra baru pulang kuliah.
Hari berganti. Bulan berjalan sedemikian cepat. Jangan tanya, sudah berapa puluh kali Mas Indra bilang akan mentraktir bakso tenis. Tapi sekali pun belum pernah dipenuhi. Paling Laila dibawakan beberapa biji permen sepulang kerja. Dan Laila tak pernah protes. Diterimanya oleh-oleh itu dengan senang hati. Sampai akhirnya Mas Indra KKN, lalu bikin skripsi, dan wisuda sarjana!
Sebelum pergi wisuda, tiba-tiba Mas Indra berkata, Aku sudah bernazar. Ibu dan Laila jadi penasaran. Karena Mas Indra bicara sambil cengar-cengir. Nazar apa? tanya Ibu setelah sesaat diam.
Mas Indra tetap cengar-cengir sembari memakai toga di depan cermin. Ck ck ck gagah sekali lo! Sampai-sampai Ibu dan Laila melongo! Diam-diam Laila mengusap setitik air mata yang tanpa sadar menggantung di sudut mata.
Nazar apa? ulang Ibu. Tatapan matanya berkedip bagai mengandung bintang. Ah, Ibu mana yang tidak bangga menyaksikan anaknya menjadi sarjana. Dan sarjana itu diraih dengan banting tulang, tanpa menyusahkan orang tua.
Toga sudah terpakai. Mas Indra kini membelakangi cermin. Katanya tenang, Bila aku berhasil menjadi sarjana, aku akan kayuh becak ke kampus. Ibu dan Laila menjadi penumpang istimewa. Sesaat lama Ibu dan Laila terpana. Lalu akhirnya menggandeng lengan Mas Indra kiri kanan. Ibu dan Laila menahan tangis kegembiraan.
Di antara mobil-mobil yang berderet sepanjang jalan dalam areal kampus yang luaaas sekali itu, Mas Indra mengayuh becaknya perlahan. Wajahnya bangga. Berpasang-pasang mata memandang takjub. Semakin takjub setelah tahu bahwa pengayuh becak itu adalah pemuda paling ulet di dunia!
Pulang wisuda, tanpa melepas toganya Mas Indra kembali mengayuh becaknya. Dengan penumpang istimewa Ibu dan Laila. Di depan warung tenda yang menjual bakso tenis, mendadak Mas Indra mengerem becak dan melompat turun. Aku punya hutang berapa mangkuk bakso tenis padamu, La? tanyanya seketika. Bicara apa Mas? tanya Laila berlagak bodoh. Dan ditolehnya Ibu, Turun yuk, Bu. Mau ditraktir bakso tenis sama Mas Indra.
Aku punya hutang berapa mangkuk bakso tenis padamu? ulang Mas Indra menjitak lembut kepala adiknya yang kini berdiri dihadapannya. Banyak, cetus Laila senyum.
Oke, sekarang aku bayar. Perlu aku borong segerobak bakso tenis untukmu? Mas Indra mengangkat alisnya tinggi. Tidak perlu.
Kalian pada ngomong apaan sih? tanya Ibu heran. Ah tidak, geleng Laila. Lalu digandengnya tangan Mas Indra sambil berbisik, Bayar satu mangkuk saja. Satu mangkuk pun sudah lunas, Mas



Cerpen ini bisa dilihat di http://www.pacific.net.id/bobo/cerpen26.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar